Alkisah di suatu masa, hiduplah sebuah keluarga miskin di Sumatra
Barat. Demi menafkahi keluarganya, sang ayah pergi melaut namun tak
kunjung pulang. Kabar mengenai kematiannya pun menjadi desas-desus yang
kemungkinan besar telah terjadi. Mendengar kabar demikian, tentu saja,
sang istri gundah-gulana. Dia sedih memikirkan bagaimana nasib Malin
Kundang, putra semata wayangnya di kemudian hari.
Namun, hidup
harus terus move on, show must go on. Ibu Malin Kundang tidak bisa terus
sedih dan berpangku tangan. Pada akhirnya, dia memilih bekerja keras.
Kehidupan ibu anak itu tidak kunjung membaik. Hasil yang didapat sang
ibu hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Demi
melihat ibunya yang banting tulang setiap harinya, Malin Kundang ingin
membantunya. Dia meminta izin ibunya untuk berlayar.
Ibu Malin
Kundang pun melarangnya karena pengalaman ayahnya yang tak kunjung
pulang. Kekerasan hati sang anaklah yang membuat, sang ibu luluh dan
mengizinkannya.
Malin Kundang segera berangkat berlayar dengan
mengantongi restu dari ibunya. Di atas kapal, dia banyak belajar dari
juragannya saudagar kapal. Hal ini membuat Malin semakin lihai dengan
seluk-beluk kapal dan perniagaan.
Waktu demi waktu terus berlalu.
Malin Kundang belum pulang juga ke kampung halamannya. Sebetulnya, dia
ingin pulang menemui ibunya di kampung halaman, dan dia minta izin
kepada juragannya untuk mudik. Dan diperbolehkan.
Ketika Malin
Kundang hendak pulang ke kampung, kapal sang juragan dicegat oleh para
perompak. Seluruh awak dibantai. Seluruh harta dirampas. Beruntung bagi
Malin saat itu bersembunyi sehingga lolos dari pembantaian.
Dia
akhirnya terdampar di suatu pulau. Di sana, dia bekerja keras hingga
jadi juragan. Anak buahnya banyak. Hartanya tak terbilang. Dan dia pun
menikahi seorang gadis yang menjadi pujaan hatinya.
Dia sudah lupa pada niatnya pulang ke kampung halaman untuk menemui ibunya. Namun, sebuah pertemuan memang sungguh unik.
Maling
Kundang harus pergi ke kampung halamannya untuk urusan perniagaan
bersama istri dan anak buahnya. Tentu saja, di sana, dia bertemu dengan
ibunya.
Melihat Malin Kundang, ibunya yang sudah bertambah tua
segera menghampirinya. "Malin, Malin, oh Malin, akhirnya kau pulang
nak," kata ibunya sambil memeluk anak semata wayangnya.
Apa reaksi Malin Kundang?
Dia
menghardik dan mendorong ibunya hingga tersungkur. Sebetulnya, Malin
Kundang mengenali ibunya. Namun rasa malu terhadap istri dan anak
buahnya membuatnya enggan mengakui wanita yang terjatuh itu sebagai
ibunya.
"Siapa dia Malin?" tanya istrinya.
"Aku tidak mengenalnya. Dia hanya wanita hina," kata Malin.
Setelah
menyelesaikan urusannya Malin Kundang segera pergi dari kampung
halamannya. Hatinya sudah mengeras menjadi batu. Bersama istri dan anak
buahnya, dia pergi berlayar kembali.
Ibunya yang telah ditinggal
pergi oleh anaknya sedih. Bahkan dia sampai menitikkan air mata. Dalam
hati, dia berdoa supaya Malin Kundang menjadi batu.
Seketika itu
juga langit menjadi mendung, kilat menyambar-nyambar, hujan turun dengan
derasnya. Kapal Malin Kundang yang tengah ada di lautan lepas
terhuyung-huyung dan akhirnya kandas menabrak karang. Jasad Malin
terombang-ambing hingga ke pantai.
Saat itulah terjadi keajaiban. Dia perlahan-lahan berubah menjadi batu. Dan batu itu dikenal sebagai Batu Malin Kundang.
Pesan
cerita : hormatilah orangtua kita, khususnya ibu kita. Karena beliaulah
orang yang telah melahirkan ke dunia. Jangan mendurhakainya. Jangan
menyakiti hatinya.
0 komentar:
Posting Komentar